Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat
Sebuah Solusi Filsafat
oleh
Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.
I. Filsafat
Matematika
Tesis
Berikut beberapa pkitangan hakikat
matematika secara filosofis menurut menurut filsuf atau matematikawan[1]:
1) Plato
Bagi Plato yang penting, bahkan yang
terpenting, adalah tugas akal budi untuk membedakan tampilan (penampakan) dari
realita (kenyataan yang sebenar-benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan
oleh para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Apa yang
dapat dilakukan, dan yang seharusnya dilakukan, agar menjadi pemimpin, praktis
atau teoretis, di dunia tampilan, yang selalu berubah, kita harus tahu realita,
yang tidak pernah berubah. Hanya dengan begitulah, kita dapat memahami dan mengatur
dunia tampilan di sekitar kita.
Derivatif dari bidang filsafat umum
yang tinggi dan kering ini ke filsafat Plato tentang matematika terapan dan
murni, yakni, perbedaan antara tampilan dan realita menjadi lebih jelas. Plato
melihat bahwa orang biasanya membedakan antara apa yang tampak dan apa yang
realitanya tanpa keraguan. Pertimbangan mereka semacam kriteria yang kurang
jelas. Maka kita memerlukan objek real yang keberadaannya kira kira bebas dari
persepsi kita dan cara bagaimana kita menangkapnya. Karena itu objek harus
memiliki suatu derajat permanen. Kemudian dapat didefinisikan dengan derajat
ketepatan tertentu, dan sebagainya. Realitas entitas absolut ini disebut
"dunia ide" atau “bangun ide”, menjadi permanen, abadi, dan bebas
dari persepsi. Dunia ide bukan hanya model ideal dari objek fisik saja akan
tetapi juga termasuk kejadian-kejadian.
Menurut Plato, ketetapan, abadi atau
permanen, bebas untuk dipahami haruslah merupakan karakteristik
pernyataan-pernyataan matematika. Dan pandangannya bahwa bilangan-bilangan,
entitas geometri dan relasi antara entitas-entitas itu objektif, atau paling
tidak saling terkait, eksistensinya masuk akal. Plato yakin bahwa terdapat
objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari pikir seperti yang Kita sebut
“satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu, Bangun Aritmetika. Hal yang sama
untuk objek-objek “titik”, “garis”, “lingkaran” dan sebagainya, yakni, bangun
geometri. Jadi terdapat dunia ide, permanen, tertentu, yang berlainan dengan
dunia cita rasa. Dunia ide dipahami tidak dengan cita rasa, tetapi dengan
nalar. Bangun aritmetika dan bangun geometri telah menjadi isi bidang studi
matematika.
Bagi Plato, matematika murni (pada
masanya adalah aritmetika dan geometri Euclid) mendeskripsikan bangun matematis
dan realisasi di antara mereka. Matematika terapan melukiskan objek-objek
empiris beserta relasi-relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi
aspek-aspek tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari
bagian realitanya.
2) Aristoteles
Filsafat matematika Aristoteles
sebagian dikembangkan dari oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian
lagi bebas dari ajaran Plato. Ia menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang
disebutnya realita kebenaran, dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya
sebagai pendekatan (aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau
esensi sebarang objek empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya, seperti
halnya pada materinya. Dalam menyatakan bahwa Kita melihat piring bulat, kita
harus tidak menyimpulkan bahwa piring adalah aproksimasi bulat dari bangun
lingkaran. Aristoteles membedakan dengan tajam antara kemungkinan mengabstraksi
bulatan dengan karakteristik matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan
keberadaannya dari karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia
sering kali menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti
memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan.
Bidang studi matematika adalah hasil abstraksi
matematis yang ia sebut “objek matematis”. Pkitangan Aristoteles tentang
hubungan matematika murni dan terapan juga menjadi agak jelas. Pernyataan-pernyataan
dalam matematika terapan harus mendekati pernyataan-pernyataan dalam matematika
murni. Aristoteles juga banyak mencurahkan perhatiannya pada struktur
keseluruhan teori dalam matematika. Ia membedakan dengan jelas antara: (i)
prinsip-prinsip yang berlaku bagi semua sains (dalam bahasa sekarang
prinsip-prinsip logika formal yang diduga berlaku dalam pengembangan formulasi
dan deduksi sebarang sains), (ii) prinsip khusus yang dianggap benar oleh
matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-teori, (iii)
definisi-definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan itu ada,
dan (iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang didefinisikan
itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni tidak diperlukan.
3) Gottfried Wilhelm Leibniz
Leibniz adalah matematikawan, filsuf,
dan fisikawan. Ia banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir
adalah sejajar dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap
proposisi dapat direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil
posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam
subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari
subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi).
Dalam bukunya Monandology, yang
ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya
sebagai berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran
penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan
lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan
lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat
dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih
sederhana, sampai Kita tiba di sini tempat yang Kita. Dengan demikian,
kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya
untuk mengkover prinsip identitas dan prinsip tolak-tengah. Bukan hanya
tolologi trivial, tetapi semua aksioma, postulat, definisi, dan teorema
matematika, adalah kebenaran penalaran, dengan kata lain, semuanya itu adalah
proposisi identik yang sebaliknya adalah suatu pernyataan kontradiksi”.
Leibniz, setuju dengan Aristoteles,
bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia
juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal itu harus berlaku untuk semua
kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian,
menurutnya, harus benar untuk kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti
bagaimanakah kebenaran kenyataan (misalnya kebenaran bolpoin Kita berwarna
hitam) dipkitang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Sebenarnyalah
untuk menjelaskan asersi bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya,
Leibniz harus membawa Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan,
yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi
Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam
kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses takhingga dan bahkan
mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deretan tak
berakhir, demikian pulalah kebenaran-kebetulan memerlukan analisis takhingga,
yang hanya Tuhan yang mampu menyelesaikannya.
Konsepsi Leibniz tentang bidang studi
matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi
Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi
ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi
objek-objek atau sebarang jenis obyek. Proposisi-proposisi itu benar karena
penolakannya menjadi tak mungkin secara logis. Kita boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi
adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau
menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
4) Kant
Sistem filsafat Kant dikembangkan di
bawah pengaruh filsafat rasionalis yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat
empiris yang diwakili oleh Hume, dan dengan kesadarannya berlawanan dengan
keduanya Hume dan Leibniz membagi semua proposisi ke dalam kelas yang
eksklusif, yakni, proposisi analisis dan faktual. Kedua filsuf memkitang
proposisi matematis sebagai analisis. Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat
berbeda dalam hal proposisi faktual. Hume tidak bicara banyak tentang
matematika murni. Dengan demikian polemik Kant ditujukan kepada Leibniz.
Kant membagi proposisi ke dalam 3
kelas. Pertama proposisi analisis, seperti Leibniz (yakni, proposisi yang
negasinya kontradiksi). Proposisi non-analisis disebutnya proposisi sintesis.
Kant membedakannya menjadi dua kelas, yakni, yang empiris atau apostteori, dan
yang non-empiris atau apriori. Proposisi sintesis apostteori bergantung pada
persepsi indera. Dalam sebarang proposisi apriori, jika benar, harus melukiskan
persepsi indera yang mungkin (bolpoin saya hitam), atau secara logis
berimplikasi pendeskripsian persepsi indera (semua burung gagak adalah hitam).
Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung pada persepsi indrawi.
Proposisi-proposisi demikian perlu dalam arti bahwa sebarang proposisi di dunia
fisis, mereka ini juga harus benar. Dengan kata lain, proposisi sintesis
apriori adalah syarat perlu bagi kemungkinan pengalaman objektif. Jadi, Kant
membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas: “intuitif”, dan
“diskursif”.
Intuitif terutama berkaitan dengan
struktur persepsi dan justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan
fungsi dari pengertian umum. Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori
adalah prinsip sebab-akibat. Semua proposisi matematika murni adalah masuk
dalam kelas proposisi sintetis apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada
matematika murni yang menjadikan persoalan definisi dan entitas terpostulatkan
berada di bawahnya. Baginya, matematika murni bukanlah analisis, ia sintetis
apriori, sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan waktu. Jawaban Kant
terhadap persoalan sifat matematika murni dan terapan dapat secara kasar
dirumuskan sebagai berikut. Proposisi dalam aritmetika dan geometri murni
adalah proposisi yang perlu, meskipun proposisi-proposisi itu sintetis apriori,
bukan analisis. Sintetis, sebab proposisi-proposisi itu tentang struktur ruang
dan waktu terlihat oleh apa yang dapat di konstruksi di dalamnya. Dan apriori
sebab ruang dan waktu adalah kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang
persepsi objek fisik.
Proposisi-proposisi dalam matematika
terapan, adalah apostteori sepanjang proposisi-proposisi ini tentang persepsi
materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan
waktu. Matematika murni memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan
waktu dan bebas dari materi empiris. Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya
sendiri struktur ruang dan waktu dengan materi yang mengisinya.
Anti-tesis
Anti-tesis
dari tesis diatas merupakan tesis dari filsafat pendidikan matematika.
0 komentar:
Post a Comment