Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika Sebuah Solusi Filsafat Bag. 8

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat

oleh

Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.


I.  Filsafat Matematika

Tesis

Berikut beberapa pkitangan hakikat matematika secara filosofis menurut menurut filsuf atau matematikawan[1]:
1)      Plato
Bagi Plato yang penting, bahkan yang terpenting, adalah tugas akal budi untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan yang sebenar-benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan oleh para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Apa yang dapat dilakukan, dan yang seharusnya dilakukan, agar menjadi pemimpin, praktis atau teoretis, di dunia tampilan, yang selalu berubah, kita harus tahu realita, yang tidak pernah berubah. Hanya dengan begitulah, kita dapat memahami dan mengatur dunia tampilan di sekitar kita.
Derivatif dari bidang filsafat umum yang tinggi dan kering ini ke filsafat Plato tentang matematika terapan dan murni, yakni, perbedaan antara tampilan dan realita menjadi lebih jelas. Plato melihat bahwa orang biasanya membedakan antara apa yang tampak dan apa yang realitanya tanpa keraguan. Pertimbangan mereka semacam kriteria yang kurang jelas. Maka kita memerlukan objek real yang keberadaannya kira kira bebas dari persepsi kita dan cara bagaimana kita menangkapnya. Karena itu objek harus memiliki suatu derajat permanen. Kemudian dapat didefinisikan dengan derajat ketepatan tertentu, dan sebagainya. Realitas entitas absolut ini disebut "dunia ide" atau “bangun ide”, menjadi permanen, abadi, dan bebas dari persepsi. Dunia ide bukan hanya model ideal dari objek fisik saja akan tetapi juga termasuk kejadian-kejadian.
Menurut Plato, ketetapan, abadi atau permanen, bebas untuk dipahami haruslah merupakan karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Dan pandangannya bahwa bilangan-bilangan, entitas geometri dan relasi antara entitas-entitas itu objektif, atau paling tidak saling terkait, eksistensinya masuk akal. Plato yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari pikir seperti yang Kita sebut “satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu, Bangun Aritmetika. Hal yang sama untuk objek-objek “titik”, “garis”, “lingkaran” dan sebagainya, yakni, bangun geometri. Jadi terdapat dunia ide, permanen, tertentu, yang berlainan dengan dunia cita rasa. Dunia ide dipahami tidak dengan cita rasa, tetapi dengan nalar. Bangun aritmetika dan bangun geometri telah menjadi isi bidang studi matematika.
Bagi Plato, matematika murni (pada masanya adalah aritmetika dan geometri Euclid) mendeskripsikan bangun matematis dan realisasi di antara mereka. Matematika terapan melukiskan objek-objek empiris beserta relasi-relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya.

2)      Aristoteles
Filsafat matematika Aristoteles sebagian dikembangkan dari oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian lagi bebas dari ajaran Plato. Ia menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita kebenaran, dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya sebagai pendekatan (aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau esensi sebarang objek empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya, seperti halnya pada materinya. Dalam menyatakan bahwa Kita melihat piring bulat, kita harus tidak menyimpulkan bahwa piring adalah aproksimasi bulat dari bangun lingkaran. Aristoteles membedakan dengan tajam antara kemungkinan mengabstraksi bulatan dengan karakteristik matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan keberadaannya dari karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia sering kali menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan.
Bidang studi matematika adalah hasil abstraksi matematis yang ia sebut “objek matematis”. Pkitangan Aristoteles tentang hubungan matematika murni dan terapan juga menjadi agak jelas. Pernyataan-pernyataan dalam matematika terapan harus mendekati pernyataan-pernyataan dalam matematika murni. Aristoteles juga banyak mencurahkan perhatiannya pada struktur keseluruhan teori dalam matematika. Ia membedakan dengan jelas antara: (i) prinsip-prinsip yang berlaku bagi semua sains (dalam bahasa sekarang prinsip-prinsip logika formal yang diduga berlaku dalam pengembangan formulasi dan deduksi sebarang sains), (ii) prinsip khusus yang dianggap benar oleh matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-teori, (iii) definisi-definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan itu ada, dan (iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang didefinisikan itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni tidak diperlukan.
3)      Gottfried Wilhelm Leibniz
Leibniz adalah matematikawan, filsuf, dan fisikawan. Ia banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir adalah sejajar dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi).
Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana, sampai Kita tiba di sini tempat yang Kita. Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengkover prinsip identitas dan prinsip tolak-tengah. Bukan hanya tolologi trivial, tetapi semua aksioma, postulat, definisi, dan teorema matematika, adalah kebenaran penalaran, dengan kata lain, semuanya itu adalah proposisi identik yang sebaliknya adalah suatu pernyataan kontradiksi”.
Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal itu harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan (misalnya kebenaran bolpoin Kita berwarna hitam) dipkitang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Sebenarnyalah untuk menjelaskan asersi bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz harus membawa Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses takhingga dan bahkan mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deretan tak berakhir, demikian pulalah kebenaran-kebetulan memerlukan analisis takhingga, yang hanya Tuhan yang mampu menyelesaikannya.
Konsepsi Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis obyek. Proposisi-proposisi itu benar karena penolakannya menjadi tak mungkin secara logis. Kita boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
4)      Kant
Sistem filsafat Kant dikembangkan di bawah pengaruh filsafat rasionalis yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat empiris yang diwakili oleh Hume, dan dengan kesadarannya berlawanan dengan keduanya Hume dan Leibniz membagi semua proposisi ke dalam kelas yang eksklusif, yakni, proposisi analisis dan faktual. Kedua filsuf memkitang proposisi matematis sebagai analisis. Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat berbeda dalam hal proposisi faktual. Hume tidak bicara banyak tentang matematika murni. Dengan demikian polemik Kant ditujukan kepada Leibniz.
Kant membagi proposisi ke dalam 3 kelas. Pertama proposisi analisis, seperti Leibniz (yakni, proposisi yang negasinya kontradiksi). Proposisi non-analisis disebutnya proposisi sintesis. Kant membedakannya menjadi dua kelas, yakni, yang empiris atau apostteori, dan yang non-empiris atau apriori. Proposisi sintesis apostteori bergantung pada persepsi indera. Dalam sebarang proposisi apriori, jika benar, harus melukiskan persepsi indera yang mungkin (bolpoin saya hitam), atau secara logis berimplikasi pendeskripsian persepsi indera (semua burung gagak adalah hitam). Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung pada persepsi indrawi. Proposisi-proposisi demikian perlu dalam arti bahwa sebarang proposisi di dunia fisis, mereka ini juga harus benar. Dengan kata lain, proposisi sintesis apriori adalah syarat perlu bagi kemungkinan pengalaman objektif. Jadi, Kant membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas: “intuitif”, dan “diskursif”.
Intuitif terutama berkaitan dengan struktur persepsi dan justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan fungsi dari pengertian umum. Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori adalah prinsip sebab-akibat. Semua proposisi matematika murni adalah masuk dalam kelas proposisi sintetis apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada matematika murni yang menjadikan persoalan definisi dan entitas terpostulatkan berada di bawahnya. Baginya, matematika murni bukanlah analisis, ia sintetis apriori, sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan waktu. Jawaban Kant terhadap persoalan sifat matematika murni dan terapan dapat secara kasar dirumuskan sebagai berikut. Proposisi dalam aritmetika dan geometri murni adalah proposisi yang perlu, meskipun proposisi-proposisi itu sintetis apriori, bukan analisis. Sintetis, sebab proposisi-proposisi itu tentang struktur ruang dan waktu terlihat oleh apa yang dapat di konstruksi di dalamnya. Dan apriori sebab ruang dan waktu adalah kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang persepsi objek fisik.
Proposisi-proposisi dalam matematika terapan, adalah apostteori sepanjang proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu. Matematika murni memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dan bebas dari materi empiris. Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dengan materi yang mengisinya.

Anti-tesis

Anti-tesis dari tesis diatas merupakan tesis dari filsafat pendidikan matematika.

Sintesis

Solusi yang ditawarkan adalah ilmu matematika sebagai ilmu formal dan aksiomatik sesuai dengan ruang lingkupnya berkembang sesuai dengan hakikatnya yaitu analitik. Selain itu, ilmu matematika dibatasi pada konteks ilmu matematika saja dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa mencampuri ilmu pendidikan matematika. Hal ini dikarenakan hakikat dari keduanya yang saling berlawanan dan sulit untuk dikompromikan.


[1] https://www.academia.edu/32937145/FILSAFAT_PENDIDIKAN_MATEMATIKA

0 komentar:

Post a Comment