Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika Sebuah Solusi Filsafat Bag. 9

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat
oleh

Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.

I.  Filsafat Pendidikan Matematika

Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.. Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Augustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat yang mereka anut. Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah pendidikan, sosiologi pendidikan, dan psikologi pendidikan.

Tesis

Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang matematika[1]. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”. Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalahmasalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar matematika, teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan kurikulum matematika di kelas.
Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti. Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru “belajar matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu membentuk pengertian”. Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari gurunya. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson (1986), mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”. Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Di Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983, disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160 makalah, dan konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah. Ini menunjukkan bahwa konstruktivisme sedang naik daun. Ringkasnya, gagasan konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von Glaserfeld dan Kitchener, 1987).
1)      Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2)      Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3)      Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dan disebut konsep itu jalan.
Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan: kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik dari teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya berkembang. Cirinya adalah sebagai berikut:
1)      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian yang sudah dimilikinya.
2)      Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi.
3)      Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri, perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa.
4)      Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut.
5)      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam sekitarnya.
6)      Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992). Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989).
Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut.
1)      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah).
2)      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung proses belajar.
3)      Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi kesimpulan siswa.

Anti-tesis

Anti-tesis dari tesis pendidikan matematika merupakan tesis dari filsafat matematika di atas.

Sintesis

Solusi yang ditawarkan adalah ilmu pendidikan matematika sebagai ilmu realistik sesuai dengan ruang lingkupnya berkembang sesuai dengan hakikatnya yaitu sintetik. Selain itu, ilmu pendidikan matematika dibatasi pada konteks ilmu pendidikan matematika saja dan penerapannya dalam meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam bentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan tanpa mencampuri ilmu matematika. Hal ini dikarenakan hakikat dari keduanya yang saling berlawanan dan sulit untuk dikompromikan.


[1] https://www.academia.edu/32937145/FILSAFAT_PENDIDIKAN_MATEMATIKA

0 komentar:

Post a Comment