This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika Sebuah Solusi Filsafat Bag. 9

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat
oleh

Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.

I.  Filsafat Pendidikan Matematika

Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.. Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Augustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat yang mereka anut. Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah pendidikan, sosiologi pendidikan, dan psikologi pendidikan.

Tesis

Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang matematika[1]. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”. Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalahmasalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar matematika, teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan kurikulum matematika di kelas.
Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti. Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru “belajar matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu membentuk pengertian”. Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari gurunya. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson (1986), mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”. Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Di Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983, disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160 makalah, dan konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah. Ini menunjukkan bahwa konstruktivisme sedang naik daun. Ringkasnya, gagasan konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von Glaserfeld dan Kitchener, 1987).
1)      Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2)      Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3)      Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dan disebut konsep itu jalan.
Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan: kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik dari teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya berkembang. Cirinya adalah sebagai berikut:
1)      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian yang sudah dimilikinya.
2)      Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi.
3)      Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri, perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa.
4)      Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut.
5)      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam sekitarnya.
6)      Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992). Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989).
Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut.
1)      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah).
2)      Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung proses belajar.
3)      Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi kesimpulan siswa.

Anti-tesis

Anti-tesis dari tesis pendidikan matematika merupakan tesis dari filsafat matematika di atas.

Sintesis

Solusi yang ditawarkan adalah ilmu pendidikan matematika sebagai ilmu realistik sesuai dengan ruang lingkupnya berkembang sesuai dengan hakikatnya yaitu sintetik. Selain itu, ilmu pendidikan matematika dibatasi pada konteks ilmu pendidikan matematika saja dan penerapannya dalam meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan siswa dalam bentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan tanpa mencampuri ilmu matematika. Hal ini dikarenakan hakikat dari keduanya yang saling berlawanan dan sulit untuk dikompromikan.


[1] https://www.academia.edu/32937145/FILSAFAT_PENDIDIKAN_MATEMATIKA

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika Sebuah Solusi Filsafat Bag. 8

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat

oleh

Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.


I.  Filsafat Matematika

Tesis

Berikut beberapa pkitangan hakikat matematika secara filosofis menurut menurut filsuf atau matematikawan[1]:
1)      Plato
Bagi Plato yang penting, bahkan yang terpenting, adalah tugas akal budi untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan yang sebenar-benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan oleh para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Apa yang dapat dilakukan, dan yang seharusnya dilakukan, agar menjadi pemimpin, praktis atau teoretis, di dunia tampilan, yang selalu berubah, kita harus tahu realita, yang tidak pernah berubah. Hanya dengan begitulah, kita dapat memahami dan mengatur dunia tampilan di sekitar kita.
Derivatif dari bidang filsafat umum yang tinggi dan kering ini ke filsafat Plato tentang matematika terapan dan murni, yakni, perbedaan antara tampilan dan realita menjadi lebih jelas. Plato melihat bahwa orang biasanya membedakan antara apa yang tampak dan apa yang realitanya tanpa keraguan. Pertimbangan mereka semacam kriteria yang kurang jelas. Maka kita memerlukan objek real yang keberadaannya kira kira bebas dari persepsi kita dan cara bagaimana kita menangkapnya. Karena itu objek harus memiliki suatu derajat permanen. Kemudian dapat didefinisikan dengan derajat ketepatan tertentu, dan sebagainya. Realitas entitas absolut ini disebut "dunia ide" atau “bangun ide”, menjadi permanen, abadi, dan bebas dari persepsi. Dunia ide bukan hanya model ideal dari objek fisik saja akan tetapi juga termasuk kejadian-kejadian.
Menurut Plato, ketetapan, abadi atau permanen, bebas untuk dipahami haruslah merupakan karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Dan pandangannya bahwa bilangan-bilangan, entitas geometri dan relasi antara entitas-entitas itu objektif, atau paling tidak saling terkait, eksistensinya masuk akal. Plato yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari pikir seperti yang Kita sebut “satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu, Bangun Aritmetika. Hal yang sama untuk objek-objek “titik”, “garis”, “lingkaran” dan sebagainya, yakni, bangun geometri. Jadi terdapat dunia ide, permanen, tertentu, yang berlainan dengan dunia cita rasa. Dunia ide dipahami tidak dengan cita rasa, tetapi dengan nalar. Bangun aritmetika dan bangun geometri telah menjadi isi bidang studi matematika.
Bagi Plato, matematika murni (pada masanya adalah aritmetika dan geometri Euclid) mendeskripsikan bangun matematis dan realisasi di antara mereka. Matematika terapan melukiskan objek-objek empiris beserta relasi-relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya.

2)      Aristoteles
Filsafat matematika Aristoteles sebagian dikembangkan dari oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian lagi bebas dari ajaran Plato. Ia menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita kebenaran, dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya sebagai pendekatan (aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau esensi sebarang objek empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya, seperti halnya pada materinya. Dalam menyatakan bahwa Kita melihat piring bulat, kita harus tidak menyimpulkan bahwa piring adalah aproksimasi bulat dari bangun lingkaran. Aristoteles membedakan dengan tajam antara kemungkinan mengabstraksi bulatan dengan karakteristik matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan keberadaannya dari karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia sering kali menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan.
Bidang studi matematika adalah hasil abstraksi matematis yang ia sebut “objek matematis”. Pkitangan Aristoteles tentang hubungan matematika murni dan terapan juga menjadi agak jelas. Pernyataan-pernyataan dalam matematika terapan harus mendekati pernyataan-pernyataan dalam matematika murni. Aristoteles juga banyak mencurahkan perhatiannya pada struktur keseluruhan teori dalam matematika. Ia membedakan dengan jelas antara: (i) prinsip-prinsip yang berlaku bagi semua sains (dalam bahasa sekarang prinsip-prinsip logika formal yang diduga berlaku dalam pengembangan formulasi dan deduksi sebarang sains), (ii) prinsip khusus yang dianggap benar oleh matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-teori, (iii) definisi-definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan itu ada, dan (iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang didefinisikan itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni tidak diperlukan.
3)      Gottfried Wilhelm Leibniz
Leibniz adalah matematikawan, filsuf, dan fisikawan. Ia banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir adalah sejajar dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi).
Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana, sampai Kita tiba di sini tempat yang Kita. Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengkover prinsip identitas dan prinsip tolak-tengah. Bukan hanya tolologi trivial, tetapi semua aksioma, postulat, definisi, dan teorema matematika, adalah kebenaran penalaran, dengan kata lain, semuanya itu adalah proposisi identik yang sebaliknya adalah suatu pernyataan kontradiksi”.
Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal itu harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan (misalnya kebenaran bolpoin Kita berwarna hitam) dipkitang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Sebenarnyalah untuk menjelaskan asersi bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz harus membawa Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses takhingga dan bahkan mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deretan tak berakhir, demikian pulalah kebenaran-kebetulan memerlukan analisis takhingga, yang hanya Tuhan yang mampu menyelesaikannya.
Konsepsi Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis obyek. Proposisi-proposisi itu benar karena penolakannya menjadi tak mungkin secara logis. Kita boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
4)      Kant
Sistem filsafat Kant dikembangkan di bawah pengaruh filsafat rasionalis yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat empiris yang diwakili oleh Hume, dan dengan kesadarannya berlawanan dengan keduanya Hume dan Leibniz membagi semua proposisi ke dalam kelas yang eksklusif, yakni, proposisi analisis dan faktual. Kedua filsuf memkitang proposisi matematis sebagai analisis. Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat berbeda dalam hal proposisi faktual. Hume tidak bicara banyak tentang matematika murni. Dengan demikian polemik Kant ditujukan kepada Leibniz.
Kant membagi proposisi ke dalam 3 kelas. Pertama proposisi analisis, seperti Leibniz (yakni, proposisi yang negasinya kontradiksi). Proposisi non-analisis disebutnya proposisi sintesis. Kant membedakannya menjadi dua kelas, yakni, yang empiris atau apostteori, dan yang non-empiris atau apriori. Proposisi sintesis apostteori bergantung pada persepsi indera. Dalam sebarang proposisi apriori, jika benar, harus melukiskan persepsi indera yang mungkin (bolpoin saya hitam), atau secara logis berimplikasi pendeskripsian persepsi indera (semua burung gagak adalah hitam). Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung pada persepsi indrawi. Proposisi-proposisi demikian perlu dalam arti bahwa sebarang proposisi di dunia fisis, mereka ini juga harus benar. Dengan kata lain, proposisi sintesis apriori adalah syarat perlu bagi kemungkinan pengalaman objektif. Jadi, Kant membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas: “intuitif”, dan “diskursif”.
Intuitif terutama berkaitan dengan struktur persepsi dan justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan fungsi dari pengertian umum. Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori adalah prinsip sebab-akibat. Semua proposisi matematika murni adalah masuk dalam kelas proposisi sintetis apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada matematika murni yang menjadikan persoalan definisi dan entitas terpostulatkan berada di bawahnya. Baginya, matematika murni bukanlah analisis, ia sintetis apriori, sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan waktu. Jawaban Kant terhadap persoalan sifat matematika murni dan terapan dapat secara kasar dirumuskan sebagai berikut. Proposisi dalam aritmetika dan geometri murni adalah proposisi yang perlu, meskipun proposisi-proposisi itu sintetis apriori, bukan analisis. Sintetis, sebab proposisi-proposisi itu tentang struktur ruang dan waktu terlihat oleh apa yang dapat di konstruksi di dalamnya. Dan apriori sebab ruang dan waktu adalah kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang persepsi objek fisik.
Proposisi-proposisi dalam matematika terapan, adalah apostteori sepanjang proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu. Matematika murni memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dan bebas dari materi empiris. Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dengan materi yang mengisinya.

Anti-tesis

Anti-tesis dari tesis diatas merupakan tesis dari filsafat pendidikan matematika.

Sintesis

Solusi yang ditawarkan adalah ilmu matematika sebagai ilmu formal dan aksiomatik sesuai dengan ruang lingkupnya berkembang sesuai dengan hakikatnya yaitu analitik. Selain itu, ilmu matematika dibatasi pada konteks ilmu matematika saja dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa mencampuri ilmu pendidikan matematika. Hal ini dikarenakan hakikat dari keduanya yang saling berlawanan dan sulit untuk dikompromikan.


[1] https://www.academia.edu/32937145/FILSAFAT_PENDIDIKAN_MATEMATIKA

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika Sebuah Solusi Filsafat Bag. 7

Perdebatan Matematika dan Pendidikan Matematika
Sebuah Solusi Filsafat
oleh

Ibrohim Aji Kusuma, S.Pd. dan Prof. Dr. Marsigit, M.A.

G.  Sumber-sumber dan Batas-batas Pengembangan Ilmu (Matematika dan Pendidikan Matematika)

Tesis

Ada beberapa pendapat mengenai sumber ilmu pengetahuan. Adapun sumber-sumber ilmu ini juga merupakan sumber ilmu dalam ilmu matematika dan ilmu pendidikan matematika adalah sebagai berikut[1]:
1.      Empirisme
Kata ini berasal dari Yunani emperikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk kedalam internasional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal kongkret-material. Contohnya adalah seperti orang yang memegang besi panas, bagaimana ia mengetahui besi itu panas?. Ia mengetahuinya dengan indera peraba. Berarti ia mengetahui panasnya besi itu melalui pengalaman-pengalaman indera peradabanya.
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, Bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi Pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.
2.      Rasionalisme
Rasionalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah pikiran, rasio, dan jiwa manusia. Aliran Filsafat rasionalisme ini berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh filsafat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Menurut aliran ini akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya sendiri. Metode yang diterapkan oleh para Filsuf rasionalisme ialah metode deduktif, seperti yang berlaku pada ilmu pasti.
Tokoh penting aliran filsafat rasionalisme adalah Rene Des Cartes (1598-1650) yang juga adalah pendiri filsafat modern. Pernyataannya adalah : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum). Bagi Descartes pernyataan “ Saya berfikir, jadi Saya ada” adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melakukan penjabaran terhadap pernyataan-pernyataan lain.
3.      Intuisi
Menurut Hendry Bergson intuisi adalah hasil dari evaluasi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolik, yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalah intuisi.
Pendekatan ini, membagi alam atas dua kategori, yaitu:
a.      Alam pertama, yang diobservasi dan dieksperimentasi oleh ilmu pengetahuan modern.
b.      Alam intuisi, yang berkaitan dengan jiwa yang tidak mungkin ditundukkan dengan pengalaman atau analogi. Alam kedua ini hanya mampu ditempuh melalui pendekatan intuisi.
4.      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkanNya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.

Anti-tesis

Selama ini, diskursus mengenai sumber ilmu masih sering terdengan khususnya antar dunia barat dan dunia timur. Barat beranggapan bahwa satu-satunya sumber ilmu adalah akal. Sedangkan timur beranggapan sumber ilmu utama adalah wahyu yangmana dibarengi rasa kurang semangat dalam mencari ilmu melalui akal. Padahal sebenarnya apapun yang bernilai baik, alam, khusus dan umum bisa menjadi sumber ilmu. Sebagai contoh, burung menginspirasi pesawat, sarang lebah menginspirasi rumah dan sebagainya. Dalam sisi agama, ini disebut dengan ayat kauniyah. Sedangkan wahyu adalah ayat kauliyah. Paham rasionalilme dalam memkitang hal ini separuh benar dan separuh salah. Jika mereka beranggapan inovasi yang muncul berasala dari akal mereka tentu saja tidak tepat karena burung misalnya merupakan objek riil bukan abstrak dan diluar pikiran.
Anti-tesis dari sumber ilmu matematika yang notabene berasal dari prinsip-prinsip aksiomatik adalah pengalaman. Dan anti-tesis dari sumber ilmu pendidikan matematika yang bersifat sintesik adalah analitik. Ilmu matematika harus terbuka dalam a posteriorinya dan ilmu pendidikan mateamtika harus terbuka dalam a priorinya.

Sintesis

Sintesis dari tesis dan anti-tesis adalah menggabungkan berbagai cara dalam menggapai sumber ilmu khususnya matematika dan pendidikan matematika. Maka solusi dari keduanya yaitu menggabungkan akal, wahyu dengan kenyataan. Rasionalisme + agama dan wahyu + ayat kauniyah ditambah usaha dan doa. Sebenar-benar sumber ilmu adalah akar dan hati, wahyu, pengalaman, ikhtiar dan doa.


[1] https://dau5.wordpress.com/2011/11/21/pengertian-sumber-dan-alat-mendapatkan-pengetahuan/